Friday, May 22, 2009

Untuk Para Ayah Yang Menyimpan Resah Dengan Senyum Merekah

KEJADIAN kemarin siang yang saya alami saat menumpang taksi dari kantor di kawasan Lebak Bulus menuju workshop di Cakung sungguh sangat membekas dihati. Dering suara handphone sang supir seketika membangunkan saya dari lelap tidur.

"Ya, Ma? Ada apa? Papa lagi nyetir nih," kata sang supir taksi yang memegang handphone di tangan kanan dan kemudi di tangan kiri.

"Apa? Susu si Nisa sudah habis? Kan' baru kemarin dibeli?. Iya..ya..tiga hari lalu. Tapi kok cepat amat sih habisnya,Ma?. Biasanya kan' sekaleng itu bisa buat seminggu?," sahut si supir menjawab panggilan telepon dan berusaha tidak kehilangan konsentrasi mengemudi.

Saya pura-pura tidak memperhatikan dengan membuang pandangan ke arah samping. Ruas tol Jakarta Outer Ring Road cukup sepi saat itu. Tak banyak kendaraan yang berlalu lalang disana.

"Iya, Ma. Sabar. Nanti Papa beliin setelah kembali dari Pool malam ini," ujar sang supir akhirnya. Helaan nafas panjang terdengar saat ia menutup telepon.

Menyadari saya memperhatikannya, sang supir mendadak berbalik ke belakang ditempat saya duduk. Raut penyesalan terlihat di wajahnya.

"Maaf ya pak, jadi terganggu tidurnya,"kata si supir santun,"Ini nih anak saya cepat banget minum susunya. Masa' baru tiga hari lalu dibeli udah habis?. Moga-moga setoran kali ini bisa cukup beli sekaleng".

Saya tersenyum dan mengangguk mafhum. Sang supir balas tersenyum getir.

Sebagai sesama ayah, saya paham keresahan yang ia alami.

Ingatan saya mendadak melayang ke sebuah peristiwa 17 tahun silam, di meja makan ruang keluarga kami di Perumteks Dihadapan saya duduk ayah dengan mata menyala. Saat itu saya mengemukakan keinginan saya untuk membayar SPP sendiri dari hasil honorarium penulisan yang saya terima dari sejumlah media cetak lokal di Makassar. Sekitar 6 bulan saya menabung dan hari itu dengan bangga saya mengungkapkan keinginan itu didepan ayah.

"Dengar ya nak. Walaupun kamu sudah bisa bayar ongkos pete-pete (angkot) sendiri ke kampus dan sekarang mau bayar uang SPP dari hasil kerja kerasmu menulis di koran, kamu tetap menjadi tanggung jawab ayah untuk menyekolahkanmu sampai selesai. Meski ayahmu ini hanya pegawai negeri berpenghasilan kecil, tapi ayah tetap berusaha melakukan yang terbaik demi membiayai kamu dan adik-adikmu bersekolah. Camkan itu!," kata ayah dengan suara bergetar.

Saya tertunduk dan menggigit bibir.

Tak pernah terbersitpun niat dihati saya untuk melukai hati ayah seperti ini. Keinginan saya tak lain adalah berusaha membantu orang tua dengan menggunakan uang tabungan saya dari hasil menulis untuk membayar SPP.

Bagi saya, itu adalah sebuah kebanggaan dan kehormatan membayar uang kuliah dari hasil keringat sendiri. Saya tak menyangka, ayah justru merasa tersinggung karena soal ini.

Mendadak ayah bangun dari tempat duduk dan memeluk saya erat-erat. Keharuan terasa meruap diudara.

"Ayah bangga padamu, nak," ucap ayah saya lirih ditelinga, "tapi tolong, biarkan ayah yang bayar SPP-mu sebagai bentuk tanggung jawab orangtua untuk anaknya. Kalau ongkos pete-pete ke kampus, silahkan kamu bayar pakai duit hasil kerja kerasmu menulis di koran. Ayah tak akan halang-halangi itu".

Saya memandang wajah ayah yang teduh. Sudut mata lelaki panutan yang tak pernah letih mencatat kenangan itu basah oleh airmata. Beliau memeluk saya lagi lebih erat.

"Kelak, ketika kamu jadi ayah, nak. Kamu akan mengerti ini," ujar ayah saya lembut. Dada saya seketika disesaki keharuan mendalam.

Lamunan saya buyar saat si supir taksi menceritakan betapa susahnya mendapatkan setoran yang "cukup layak" dibawa pulang untuk biaya makan anak dan isteri di zaman yang makin susah ini. Kerapkali ia terpaksa ngutang pada rekan sekerja.

"Tapi bila sampai dirumah, saya tetap berusaha tampil gembira dan tersenyum untuk anak dan istri saya pak, meski rasanya sedih dihati ini tak bisa memberikan nafkah yang memadai buat mereka," kata sang supir dengan nada pilu.

Saya termenung.

Ada berapa banyak ayah--seperti supir taksi ini--yang menyimpan demikian rapi keresahannya dan tampil begitu tangguh sebagai sosok ayah yang dengan tegar menyatakan dihadapan istri dan anak-anaknya,"Jangan khawatir, biar ayah yang bereskan semuanya".

Ada berapa banyak ayah yang tak mampu meredakan keresahannya hingga kemudian membiarkan tangannya berlumur darah, mengambil sesuatu yang bukan haknya, mengorbankan hak orang lain demi menuntaskan rasa gundah dihati. Sementara dirumah, anak dan istri menunggu hingga larut malam kedatangan sang ayah dimana pada saat yang sama lelaki tangguh itu telah dalam keadaan kritis meregang nyawa, babak belur dihajar massa karena kejahatan yang dilakukannya dan hanya tersisa nafas terakhir di atas aspal yang basah oleh darahnya sendiri.

Ada berapa banyak ayah yang terpaksa menukar kehormatannya dengan melakukan korupsi, menipu rekan sekerja, berbuat curang dengan memanipulasi angka-angka demi meredam rasa resah didada hingga "orang-orang dirumah" tak perlu tahu dan bertanya halalkah duit yang dibawa pulang ?

Tak sedikit pula ayah yang memendam kegusaran dengan mengakhiri hidup diatas tali gantungan seakan-akan itu adalah solusi terakhir mengatasi persoalan.

Batin saya kian tergetar saat sang supir berkata lirih, "Kesedihan itu selalu saya simpan rapat-rapat dihati pak. Saya tak ingin keluarga saya merasakan keresahan yang saya alami dengan menciptakan kegusaran baru pada diri mereka. Tengah malam, saat saya sholat tahajjud, saya mengadukan persoalan ini pada Allah SWT. Berharap agar Sang Maha Pencipta melindungi agar jangan sampai saya berada dalam kekufuran akibat keresahan yang saya alami dan memperoleh rezeki yang halal serta layak untuk keluarga keesokan paginya".

Saya menggigit bibir.

Terbayang kembali ekspresi wajah ayah saya 17 tahun silam. Beliau tak ingin menciptakan kegundahan baru pada diri saya, anak pertamanya, dengan mengambil alih tanggung jawab membayar SPP. Beliau ingin, dengan segala keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki, tetap menggenggam tanggung jawab sekaligus keresahan itu sebagai ayah.

Saat mencium pipi kedua anak saya tadi pagi, mata saya berkaca-kaca. Sungguh, saya begitu ingin menjadi ayah yang mampu menyimpan rapi segenap resah dihati ini dengan penuh kesabaran lalu menampilkan senyum merekah. Untuk mereka dan untuk kehidupan yang begitu indah ini.

Sumber Foto

Berdamai Dengan Ketidaksempurnaan : Sebuah Kisah Tentang Rasa Marah

Yang Paling saya tahu tentang Marah adalah,dia lebih banyak melukai diri sendiri ketimbang orang yang kita marahi

-- Oprah Winfrey, Pembawa acara TV Terkenal (dikutip dari Majalah Intisari Maret 2007)

Kejadian 12 tahun silam itu masih membekas di ingatan.

Dari tempat kos di Cawang, saya bermaksud menumpang Metromini ke Mall Kalibata untuk membeli buku.

Matahari bersinar sangat terik waktu itu. Rasanya ubun-ubun kepala bagai terbakar. Saya merutuk kesal lupa membawa topi yang sudah saya siapkan sebelumnya dikamar kos.

Saat akan turun, terjadilah musibah itu.

Bis yang saya tumpangi itu melaju kencang sebelum kaki saya benar-benar menapak kokoh dijalan. Tak ayal saya pun jatuh terguling-guling diatas aspal. Masih untung, saya memiliki "peredam kejut" yang lumayan mumpuni berupa bokong yang padat montok sehingga ketika tubuh jatuh berdebum di aspal tidak terlalu menghasilkan akibat yang parah.

Tapi tetap saja sakit.

Celana Jeans saya kotor dan ditambah rasa malu bukan main disaksikan sejumlah orang yang berada di depan mall.

Kemarahan saya seketika memuncak. Saya lalu berlari mengejar Metromini itu yang kebetulan sedang berjalan pelan karena tepat didepannya ada pintu perlintasan kereta api. Akhirnya saya berhasil naik ke atas metromini dan langsung menuju tempat pengemudi berada.

Dengan geram saya langsung mencengkram kerah kaos kumal supir yang berperawakan lebih kecil dari saya itu seraya menatap tajam kepadanya. Sang kondektur mencoba membantu tapi ia tidak berani ketika saya sudah memasang kuda-kuda untuk menghajarnya bila ia mau mendekat. Saya telah siap menerapkan ilmu beladiri yang pernah saya pelajari untuk mengantisipasi segala kemungkinan terburuk. Termasuk resiko bila dikeroyok.

Sang supir sangat ketakutan. Saya lalu melontarkan sejumlah makian pedas dan sumpah serapah terhadapnya telah memperlakukan penumpang secara tidak manusiawi, masih untung saya—lelaki muda, kekar dan sehat —yang jadi korban, bagaimana jika seorang ibu hamil, anak-anak atau orang cacat yang mengalami nasib serupa?.Bukankah hasinya akan lebih fatal?.
Berkali-kali si supir menyampaikan permohonan maaf dengan suara lirih. Ia menyatakan sedang mengejar setoran sehingga buru-buru menekan pedal gas sebelum saya betul-betul menjejakkan kaki dengan sempurna.Hampir saja tinju saya melayang ke wajahnya ketika beberapa orang penumpang datang melerai. Saya turun dari Metromini dengan rasa puas telah melampiaskan kemarahan. Saat bis itu bergerak maju, saya masih sempat menendang bumper belakang bis dengan gemas.

Saya memutuskan untuk membatalkan niat saya ke toko buku. Dengan kondisi celana kotor dan rasa sakit di bagian punggung serta bokong, maka pilihan terbaik adalah kembali ketempat kos, menenangkan diri sekaligus beristirahat. Sudah hilang “mood” saya mencari buku hari itu.

Sebelum tiba ke tempat kos, saya mampir sejenak di wartel terdekat. Menelepon orang tua saya di Makassar .

Di telepon, saya menceritakan apa yang baru saja saya alami pada ayah. Berapi-api dan penuh semangat, juga sekaligus menunjukkan “legitimasi” dan kebanggaan bahwa putra sulungnya yang merantau jauh ini berhasil “menaklukkan” Jakarta dengan menundukkan supir metromini yang ceroboh. Ayah hanya mendengarkan saya nyerocos panjang ditelepon.

“Kamu belum bisa menjadi seorang pemimpin yang baik, bahkan untuk dirimu sendiri sekalipun,” suara bariton ayah tiba-tiba terasa menikam hati begitu tajam di ujung telepon.

Saya melongo.

Tak menduga malah mendapat tanggapan mengejutkan seperti ini.

“Kualitas kepemimpinanmu berada di level paling rendah, karena kamu tak mampu mengendalikan amarah. Camkan itu,” tegas ayah saya lagi.

Saya mencoba berapologi bahwa apa yang saya lakukan tadi adalah bagian dari upaya saya untuk memberikan pelajaran pada sang supir Metromini untuk lebih berhati-hati, agar kejadian fatal serupa tidak terjadi lagi pada orang lain. Cukuplah saya saja yang jadi korban.

“Tindakanmu sudah benar,” kata ayah,”tapi coba kamu pikir bagaimana bila kamu melakukannya dengan cara yang berbeda, bukan dengan cara koboi yang seperti kamu lakukan tadi?”,

“Cara berbeda? Maksudnya, Pa?” tanya saya kebingungan.

Saya mendengar helaan nafas panjang ayah saya diujung telepon.

“Kamu tetap mengejar dan menemui supir tadi lalu mengingatkannya—dengan kalimat yang lembut, bukan dengan rasa marah—bahwa tindakannya salah dan lebih berhati-hati dikemudian hari. Buka hatimu lebar-lebar dan cobalah berdamai dengan ketidaksempurnaan. Boleh jadi supir tadi mengejar setoran yang ditargetkan untuk biaya makan anak istrinya sehingga mesti buru-buru mencari penumpang lebih banyak atau supir tadi tidak mendengar aba-aba kondekturnya kamu mau turun atau ia sedang berada dalam fikiran yang kalut sehingga tak bisa berkonsentrasi penuh saat menurunkanmu sebagai penumpang, atau justru begini, coba kamu evaluasi kembali cara turunmu dari bis tadi, apakah sudah benar?. Dengan memahami ketidaksempurnaan yang terjadi pada supir itu dan pada kamu sendiri, tak akan ada alasan bagimu untuk marah begitu rupa”, tutur ayah saya panjang lebar di ujung telepon.
Saya menggigit bibir.

Tapi jiwa muda saya memberontak, bagaimanapun saya tetap beranggapan, mesti dilakukan sebuah tindakan yang drastis serta sedikit anarkis, untuk menyadarkan tindakan ceroboh yang dilakukan oleh supir tadi.

“Kamu sudah sholat Dhuhur belum?” tanya ayah lembut, beliau seperti tahu apa yang sedang bergolak di batin saya .

“Belum,” sahut saya pelan.

“Coba kamu sholat Dhuhur dulu dikamar kos. Semoga dengan begitu, amarah yang melanda hatimu segera reda. Setan selalu berada didekat orang-orang marah. Telepon Papa lagi kalau kamu masih belum bisa tenang,” ujar ayah saya.

Setelah menutup telepon dan membayar biaya wartel, saya kembali ke kamar kos menunaikan sholat Dhuhur.

Diatas sajadah, usai sholat, saya menangis tertahan. Pelupuk mata saya basah dan dada disesaki keharuan mendalam.

Rasa sesal menyelinap perlahan dari hati. Saya segera memohon ampun kepada Allah SWT atas kelalaian yang telah saya lakukan tadi. Emosi telah menguasai pikiran dan hati saya sehingga mengabaikan kesadaran untuk melakukan hal yang lebih rasional.

Ketika itu terjadi, tak ada satu pilihanpun dalam fikiran saya, kecuali membalas dan melampiaskannya. Rasa marah yang saya alami pada akhirnya menutup semua kemungkinan pilihan yang bisa saya raih seperti ketika saya tidak sedang marah.

Bila kemudian tadi saya berhasil memukul sang supir, se-“benar” apapun alasan tindakan saya, tetap saja faktanya saya telah menganiaya seseorang dan itu sudah melanggar hukum. Beruntunglah, Allah SWT masih melindungi saya dari tindakan konyol yang kontraproduktif itu.

Filsuf besar Yunani Aristoteles pernah mengatakan “Siapapun bisa marah, tetapi marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah hal yang mudah”.

Saya memahami makna dari nasehat ayah saya : Bila marah cobalah berdamai dengan ketidaksempurnaan. Kesempurnaan manusia justru berada pada ketidaksempurnaannya. Persoalannya—seperti kata Aristoteles—adalah tak mudah “mengelola” rasa marah yang “baik dan benar”.Ujian pengendalian diri tidak selamanya kita dapatkan pada saat kondisi yang damai dan tenang. Kemarahan senantiasa mengandung emosi aktif untuk mendorong orang segera melakukan tindakan dengan mengabaikan logika.

Diane Tice, Psikolog dari Case Western University pernah meneliti strategi seseorang menurunkan amarah seperti menyendiri, mendengarkan music, berjalan kaki, berolahraga dan relaksasi. Sementara Nabi Muhammad SAW menyatakan sebuah tips berharga :”Kalau kamu sedang marah padahal kamu berdiri, cobalah duduk, Kalau belum reda, cobalah berbaring atau mengambil air wudhu”.

Krisis financial global yang melanda dunia saat ini dan telah berimbas pada negeri kita seperti merebaknya PHK dan tutupnya sejumlah pabrik karena kehilangan order serta naiknya harga bahan-bahan kebutuhan pokok, tak urung menyuburkan situasi seseorang menjadi lebih mudah marah. Belum lagi Pesta Demokrasi yang akan kita selenggarakan tahun ini turut menambah ketegangan dan kerapkali memicu rasa marah.

Saya ingin membagi sebuah kisah menarik yang ditulis oleh Suryana Abdurrauf berjudul “Menahan Marah” yang saya kutip dari Buku Kumpulan Hikmah Republika “Pahala Itu Ibadah” (Penerbit Republika,2005).

Suatu Hari Rasulullah SAW bertamu ke rumah Abu Bakar Shiddiq. Ketika sedang bercengkrama, tiba-tiba datang seorang Arab Badui menemui Abubakar dan langsung mencelanya. Makian, kata-kata kotor keluar dari mulut orang itu. Namun Abubakar tidak menghiraukannya. Ia melanjutkan perbincangan dengan Rasulullah. Melihat hal ini Rasulullah tersenyum.

Kemudian orang Arab Badui itu kembali memaki Abubakar. Kali ini makian dan hinaannya lebih kasar. Namun dengan keimanan yang kokoh serta kesabarannya, Abubakar tetap membiarkan orang tersebut. Rasulullah kembali memberikan senyum,

Semakin marahlah orang Arab Badui ini. Untuk ketiga kalinya ia mencerca Abubakar dengan makian yang lebih menyakitkan. Kali ini, sebagai manusia biasa yang memiliki hawa nafsu, Abubakar tak dapat menahan amarahnya. Dibalasnya makian orang Arab Badui itu dengan makian pula. Terjadilah perang mulut. Seketika itu Rasulullah beranjak dari tempat duduknya. Ia meninggalkan Abubakar tanpa mengucapkan salam.

Melihat hal ini, Abubakar sebagai tuan rumah tersadar dan menjadi bingung. Dikejarnya Rasulullah yang sudah sampai ke halaman rumah. Kemudian Abubakar berkata: “Wahai Rasulullah, janganlah Anda biarkan aku dalam kebingungan yang sangat. Jika aku berbuat kesalahan, tolong jelaskan kesalahanku”.

Rasulullah menjawab:”Sewaktu ada seorang Arab Badui datang lalu mencelamu, dan engkau tidak menanggapinya, aku tersenyum karena banyak malaikat disekelilingmu yang akan membelamu dihadapan Allah. Begitupun, yang kedua kali ketika ia mencelamu dan engkau tetap membiarkannya, maka para Malaikat semakin bertambah jumlahnya. Oleh sebab itu, aku tersenyum kembali. Namun ketika yang ketiga ia mencelamu dan engkau menanggapinya lalu membalasnya, maka seluruh Malaikat pergi meninggalkanmu. Karena Iblis hadir disisimu. Oleh karena itu aku tak ingin berdekatan dengannya dan aku tidak memberikan salam kepadanya”.

Sungguh ini sebuah pelajaran berharga bagi kita semua untuk tetap memelihara hati dan jiwa kita dari rasa amarah. Dunia akan menjadi lebih baik dan tenteram bila setiap orang dapat mengendalikan rasa marahnya serta pada akhirnya kita akan dapat mencari solusi atas setiap persoalan dengan jernih dan elegan.

TDA Bekasi Talk Show di Radio 93.6 GAYA FM


Hari Jum’at 22-Mei-2009 pukul 14:00 WIB hujan turun gede banget…. “gile.. tau gini aku tadi bawa mobil…” untung bawa mantel jadi masih mending nggak kehujanan semua. Buru-buru juga soalnya sudah mau telat janjian sama mbak Susi dari Radio Gaya FM Bekasi.


Sewaktu mau belok kiri, motor udah saya nyalain lampu sein, eh tiba-tiba ada pengendara motor mau nyalip sebelah kiri dan…. Braakk… pengendara motor itu jatuh dan kepalanya kena aspal duluan. "...aduh apa lagi ini", batinku. Saya lihat dan …”oh ibu2 jatuh..!!!”. Motor saya pinggirin lalu saya bantu minggirin motornya ibu itu. Nggak ada kejadian apa-apa sih dan ibu itu juga nggak apa-apa karena pakai helm. Motor ibu itu mati dan di start bolak-balik masih aja nggak bisa. Beberapa orang bantuin dan akhirnya motor bisa hidup dan semua urusan selesai.

Saya minta maaf biarpun saya nggak merasa bersalah karena saya sudah nyalain lampu sein dan sudah mau belok kiri sedangkan ibu itu nyalip dari sebelah kiri…. Ya sudah ini buat pelajaran ke depannya aja biar hati-hati.


Singkat cerita saya sampai juga di Radio Gaya FM. Sebetulnya mas Eko June mau ikutan tapi karena ada halangan jadinya saya berangkat sendiri.

Ketemu dengan mbak Susi, kebiasaan standar aja, perkenalkan diri dan tukeran kartu nama….. Nah untuk kartu nama ini mau nggak mau kartu nama usaha saya "PRADANA KOMPUTER" yang saya kasihkan karena belum ada kartu nama TDA. “ini keuntungan atau kerugian ya buat saya…..???”


Saya ceritakan soal TDA pusat dan TDA Bekasi. Mbak Susi ini juga pernah datang ke Festival Enterpreneur di BPPT tahun ini jadi beliau sudah kenal apa itu TDA.

Ada kegiatan di Radio Gaya yang sesuai dengan misi TDA Bekasi yaitu diadakannya sebuah pasar. Di Radio Gaya sering juga ngadain semacam bazaar di suatu lingkungan pada bulan-bulan tertentu. Hal ini sesuai dengan hasil Raker TDA Bekasi yang ingin membuat pasar TDA. Radio Gaya sangat antusias sekali untuk bisa mewujudkan ini bersama-sama dengan TDA Bekasi.


Radio Gaya juga mempunyai komunitas yang membernya sudah banyak sekali. Sebagai informasi, Radio Gaya ini termasuk salah satu radio yang sudah mempunyai ijin untuk siaran nasional. Setelah saya sampaikan ide dari TDA Bekasi yang ingin membentuk entrepreneur melalui sebuah wadah yang bernama Mastermind, maka Radio Gaya sangat tertarik........ dan sewaktu saya meminta slot kosong untuk Talk Show dari TDA Bekasi, maka mereka dengan senang hati mengatur waktunya dengan saya. Saya sudah sepakat soal jam dan harinya dan sekarang semua tergantung dari kesiapan TDA Bekasi….. “saya yakin sudah siap karena hal ini cuma masalah pengaturan schedule”. Kenapa saya yakin akan hal ini.... karena sudah saya sampaikan ke beberapa Management TDA Bekasi yang kebetulan juga anggota Property Club pada waktu acara Property Club di tempat Pak Abdul Koni


Soal kerjasama dengan Radio Gaya semua sudah oke tinggal masalah administrasi. Planning ke depan adalah mengontak beberapa Radio di Bekasi untuk diajak kerjasama seperti ini dan kerjasama dengan beberapa media seperti radio, koran, majalah, televisi dan komunitas.


Seperti biasa yang saya lakukan dalam penjualan, saya menggunakan jurus dari Tung Desem Waringin yaitu Sales Magic. Ada salah satu cara yang saya lakukan yaitu men-cantolkan nama saya dengan beberapa nama yang terkenal. Dalam hal ini saya kaitkan nama saya pribadi dan TDA Bekasi dengan nama Tung Desem Waringin “…pengisi acara di Radio Gaya dan pembicara di Festival Enterpreneur TDA”, Purdi E Chandra, Bob Sadino, Wahyu Zaidi “… pak wahyu dulu juga ngisi acara di Radio Gaya cuma sekarang sudah tidak lagi”, dan beberapa nama yang terkenal.


Selain itu dari segi geografis juga saya kaitkan. Mbak Susi dari Jogja dan saya dari Surabaya, saya tinggal bilang aja “…Jogja itu kota yang selalu membuat saya ingin kembali terus mbak…”.


Dari sisi materi acara di Radio Gaya yang bernama Planet Koes Plus pada hari Jum’at pukul 22:00 sampai 24:00, saya bilang, “… mbak kemaren waktu saya main band, yang pertama kali saya nyanyikan adalah dari Koes Plus lagu Angin Laut…”.

“oh lagu itu pak…. Emang enak soalnya musiknya itu bisa membuat orang langsung goyang..”, kata mbak Susi.

"Pak Rawi juga seneng nge-band ya...?? biasanya pegang apa pak..?"

"Bagian nggebukin mbak..... Drum", kata saya

“...dan bukan cuma lagu itu aja mbak, saya mainin juga lagu D’Lloyd judulnya Lorong yang Gelap… tau kan mbak lagunya,”

“Tau pak.. dan lagu-lagu seperti ini memang cocok dengan target market kita,” kata mbak Susi.


Artinya apa....., saya sudah banyak melakukan banyak promosi biarpun cuma lewat obrolan dan sekali penyampaian sudah ada beberapa rencana yang bisa dikerjakan bersama-sama.


Apapun caranya yang penting tujuan untuk mendapatkan slot Talk Show TDA Bekasi tercapai dan kerjasama antara RADIO GAYA dengan TDA Bekasi bisa saling menguntungkan.

Praktek Sales Magic Tung Desem Waringin

Pertama kali saya dapat istilah ini pada waktu ikut seminar Finacial Revolution Tung Desem Waringin (TDW). Saya dijelasin sedikit ilmu ini, kenapa sedikit karena materinya waktu itu adalah Financial Revolution.

Di suatu sesi ada pembelian 1 paket CD kalau gak salah seharga Rp. 1.000.000,- yang berisi beberapa macam paket produk. Segera saya beli dan saya dapat tas yang isinya banyak banget CD dan VCD.

Singkat cerita…. Saya setel vcd Sales Magic. Disitu diajarkan bagaimana caranya kita mempengaruhi orang lain dengan berbagai macam cara seperti,

1. Melalui pembicaraan telpon

2. Melalui tatap muka

3. Direct Selling

Untuk hal ini saya tidak akan menjelaskan Sales Magic semuanya…. “ke-enakan TDW kali ya…hehehehe Peace om TDW”. Saya akan jelaskan cara-cara saya yang telah saya kombinasikan dengan ilmunya Sales Magic TDW.

Untuk pembicaraan telpon.

Biasanya pembicaraan telpon seperti ini,

Saya, “Hallo…. Selamat pagi/siang” dengan nada biasa

Penelpon,”Hallo… Selamat pagi/siang, saya mau bertemu dengan……”

Setelah saya dengar suara dari penelpon, segera nada bicara saya samakan dengan penelpon. Gunanya apa…..?? gunanya biar si penelpon merasa nyaman berhubungan dengan kita. Kalau mereka nadanya malas dan pelan, maka nada bicara saya juga saya rubah malas dan pelan. Kalau nada bicaranya keras, kencang maka saya rubah juga menjadi keras dan kencang. Kalau nada bicaranya tinggi karena marah-marah, maka nada bicara saya juga rubah tinggi.

Setelah membuat mereka nyaman dengan kita, baru pelan-pelan kita arahkan mereka ke maksud tujuan kita. Misal, mereka complain dengan nada tinggi, Saya ikuti dulu dengan nada tinggi, saya iya-kan dulu semua yang di omongin dan setelah beberapa saat (…jangan lama2) baru nada bicara saya turunkan dan mereka saya kasih solusinya.

Untuk pertemuan secara langsung fish to fish “…ini kata Tukul”

Seperti biasa, nada bicara langsung saya samakan. Yang terpenting disini adalah bahasa tubuh. Biasanya dalam kondisi tertentu kita itu jaim (…jaga image) tapi kalau saya, jaim itu tergantung situasi. Kalau perlu saya jadi “gila” sewaktu ngobrol dengan lawan bicara.

Ikuti dulu bahasa tubuh mereka, misal tangannya ada di atas meja maka tangan saya juga diatas meja, posisi-nya miring saya juga ikut miring, pokoknya ikuti terus.

Tapi ada syarat yang penting yaitu…. Kita mengikutinya setelah itungan 10 detik, kenapa… ya biar nggak ketauan kalau kita ngikutin dia.

Untuk menyamakan posisi/status/derajat kita dengan lawan bicara, biasanya saya ngeluarin hp BlackBerry casing warna merah, warna yang mencolok. Saya pegang dengan posisi tangan sama dengan dia pegang hp-nya dan merk-nya selalu saya arahkan ke depan. Kadang-kadang BB saya taruh di depan meja dengan tulisan BlackBerry menghadap ke dia. Cara ini ampuh untuk menyamakan status.

Soal kendaraan, biarpun saya punya mobil tetapi tetap untuk mondar-mandir Jabodetabek saya lebih senang naik motor karena lebih cepat. Saya nggak gengsi naik motor sebab motor/mobil tidak di parkir di depan pintunya customer. Yang terpenting buat saya itu adalah bagaimana caranya membuat lawan bicara senang dan membeli produk saya.

Dengan menggunakan ilmu sederhana ini dan sering praktek, maka tanpa kita sadari kalau kita ketemu prospek yang bagus otomatis kita akan melakukan langkah2 diatas.

Selamat mencoba......