"Ya, Ma? Ada apa? Papa lagi nyetir nih," kata sang supir taksi yang memegang handphone di tangan kanan dan kemudi di tangan kiri.
"Apa? Susu si Nisa sudah habis? Kan' baru kemarin dibeli?. Iya..ya..tiga hari lalu. Tapi kok cepat amat sih habisnya,Ma?. Biasanya kan' sekaleng itu bisa buat seminggu?," sahut si supir menjawab panggilan telepon dan berusaha tidak kehilangan konsentrasi mengemudi.
Saya pura-pura tidak memperhatikan dengan membuang pandangan ke arah samping. Ruas tol Jakarta Outer Ring Road cukup sepi saat itu. Tak banyak kendaraan yang berlalu lalang disana.
"Iya, Ma. Sabar. Nanti Papa beliin setelah kembali dari Pool malam ini," ujar sang supir akhirnya. Helaan nafas panjang terdengar saat ia menutup telepon.
Menyadari saya memperhatikannya, sang supir mendadak berbalik ke belakang ditempat saya duduk. Raut penyesalan terlihat di wajahnya.
"Maaf ya pak, jadi terganggu tidurnya,"kata si supir santun,"Ini nih anak saya cepat banget minum susunya. Masa' baru tiga hari lalu dibeli udah habis?. Moga-moga setoran kali ini bisa cukup beli sekaleng".
Saya tersenyum dan mengangguk mafhum. Sang supir balas tersenyum getir.
Sebagai sesama ayah, saya paham keresahan yang ia alami.
Ingatan saya mendadak melayang ke sebuah peristiwa 17 tahun silam, di meja makan ruang keluarga kami di Perumteks Dihadapan saya duduk ayah dengan mata menyala. Saat itu saya mengemukakan keinginan saya untuk membayar SPP sendiri dari hasil honorarium penulisan yang saya terima dari sejumlah media cetak lokal di Makassar. Sekitar 6 bulan saya menabung dan hari itu dengan bangga saya mengungkapkan keinginan itu didepan ayah.
"Dengar ya nak. Walaupun kamu sudah bisa bayar ongkos pete-pete (angkot) sendiri ke kampus dan sekarang mau bayar uang SPP dari hasil kerja kerasmu menulis di koran, kamu tetap menjadi tanggung jawab ayah untuk menyekolahkanmu sampai selesai. Meski ayahmu ini hanya pegawai negeri berpenghasilan kecil, tapi ayah tetap berusaha melakukan yang terbaik demi membiayai kamu dan adik-adikmu bersekolah. Camkan itu!," kata ayah dengan suara bergetar.
Saya tertunduk dan menggigit bibir.
Tak pernah terbersitpun niat dihati saya untuk melukai hati ayah seperti ini. Keinginan saya tak lain adalah berusaha membantu orang tua dengan menggunakan uang tabungan saya dari hasil menulis untuk membayar SPP.
Bagi saya, itu adalah sebuah kebanggaan dan kehormatan membayar uang kuliah dari hasil keringat sendiri. Saya tak menyangka, ayah justru merasa tersinggung karena soal ini.
Mendadak ayah bangun dari tempat duduk dan memeluk saya erat-erat. Keharuan terasa meruap diudara.
"Ayah bangga padamu, nak," ucap ayah saya lirih ditelinga, "tapi tolong, biarkan ayah yang bayar SPP-mu sebagai bentuk tanggung jawab orangtua untuk anaknya. Kalau ongkos pete-pete ke kampus, silahkan kamu bayar pakai duit hasil kerja kerasmu menulis di koran. Ayah tak akan halang-halangi itu".
Saya memandang wajah ayah yang teduh. Sudut mata lelaki panutan yang tak pernah letih mencatat kenangan itu basah oleh airmata. Beliau memeluk saya lagi lebih erat.
"Kelak, ketika kamu jadi ayah, nak. Kamu akan mengerti ini," ujar ayah saya lembut. Dada saya seketika disesaki keharuan mendalam.
Lamunan saya buyar saat si supir taksi menceritakan betapa susahnya mendapatkan setoran yang "cukup layak" dibawa pulang untuk biaya makan anak dan isteri di zaman yang makin susah ini. Kerapkali ia terpaksa ngutang pada rekan sekerja.
"Tapi bila sampai dirumah, saya tetap berusaha tampil gembira dan tersenyum untuk anak dan istri saya pak, meski rasanya sedih dihati ini tak bisa memberikan nafkah yang memadai buat mereka," kata sang supir dengan nada pilu.
Saya termenung.
Ada berapa banyak ayah--seperti supir taksi ini--yang menyimpan demikian rapi keresahannya dan tampil begitu tangguh sebagai sosok ayah yang dengan tegar menyatakan dihadapan istri dan anak-anaknya,"Jangan khawatir, biar ayah yang bereskan semuanya".
Ada berapa banyak ayah yang tak mampu meredakan keresahannya hingga kemudian membiarkan tangannya berlumur darah, mengambil sesuatu yang bukan haknya, mengorbankan hak orang lain demi menuntaskan rasa gundah dihati. Sementara dirumah, anak dan istri menunggu hingga larut malam kedatangan sang ayah dimana pada saat yang sama lelaki tangguh itu telah dalam keadaan kritis meregang nyawa, babak belur dihajar massa karena kejahatan yang dilakukannya dan hanya tersisa nafas terakhir di atas aspal yang basah oleh darahnya sendiri.
Ada berapa banyak ayah yang terpaksa menukar kehormatannya dengan melakukan korupsi, menipu rekan sekerja, berbuat curang dengan memanipulasi angka-angka demi meredam rasa resah didada hingga "orang-orang dirumah" tak perlu tahu dan bertanya halalkah duit yang dibawa pulang ?
Tak sedikit pula ayah yang memendam kegusaran dengan mengakhiri hidup diatas tali gantungan seakan-akan itu adalah solusi terakhir mengatasi persoalan.
Batin saya kian tergetar saat sang supir berkata lirih, "Kesedihan itu selalu saya simpan rapat-rapat dihati pak. Saya tak ingin keluarga saya merasakan keresahan yang saya alami dengan menciptakan kegusaran baru pada diri mereka. Tengah malam, saat saya sholat tahajjud, saya mengadukan persoalan ini pada Allah SWT. Berharap agar Sang Maha Pencipta melindungi agar jangan sampai saya berada dalam kekufuran akibat keresahan yang saya alami dan memperoleh rezeki yang halal serta layak untuk keluarga keesokan paginya".
Saya menggigit bibir.
Terbayang kembali ekspresi wajah ayah saya 17 tahun silam. Beliau tak ingin menciptakan kegundahan baru pada diri saya, anak pertamanya, dengan mengambil alih tanggung jawab membayar SPP. Beliau ingin, dengan segala keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki, tetap menggenggam tanggung jawab sekaligus keresahan itu sebagai ayah.
Saat mencium pipi kedua anak saya tadi pagi, mata saya berkaca-kaca. Sungguh, saya begitu ingin menjadi ayah yang mampu menyimpan rapi segenap resah dihati ini dengan penuh kesabaran lalu menampilkan senyum merekah. Untuk mereka dan untuk kehidupan yang begitu indah ini.
No comments:
Post a Comment