Monday, June 22, 2009

Cinta Yang Menumbuhkan, Cinta Yang Memberdayakan

Saya selalu terpukau pada kemampuan ayah saya merawat tanaman.

Pada saat pulang ke Makassar November tahun lalu, saya kaget melihat bibit bunga Anthurium yang beliau bawa saat menengok kami sekeluarga di Cikarang 10 bulan sebelumnya, sudah beranak pinak dan tumbuh subur di beberapa pot yang diletakkan didepan rumah orang tua saya itu (Perumahan Bumi Antang Permai Makassar).

Beberapa pot tanaman hias terlihat "mejeng" secara atraktif memperlihatkan bunga-bunganya yang bermekar indah sementara pot-pot kecil tanaman kaktus berjejer rapi disebuah rak tersendiri yang disediakan khusus dan diletakkan dibagian atas. Sungguh sangat indah untuk dinikmati.

Saya masih ingat betul, saat kami masih tinggal di Bone-Bone dulu, ayah saya begitu tekun memelihara tanaman disamping rumah dinas yang kami huni. Kebetulan terdapat tanah kosong yang cukup luas dan disana selain tanaman hias juga ketela rambat, pisang serta singkong.

Karena tinggal didaerah yang terpencil, kerapkali gaji ayah saya datang terlambat. Kami lalu memanfaatkan hasil kebun berupa singkong dan ketela rambat itu menjadi makanan ka
mi. Ibu saya yang jago memasak, meramunya begitu dashyat menjadi makanan yang menggugah selera.

Beberapa kali saya membantu ayah menanam tanaman-tanaman tersebut dikebun. Sensasinya terasa luar biasa saat ayah mengajak saya dan Budi, adik saya, menarik keluar pohon singkong yang sudah besar. Kami bersusah payah mencabutnya hingga ngos-ngosan. Saya bahkan beberapa kali sampai terjatuh. Kami tertawa riang dan akhirnya ayah ikut membantu kami lalu memberikan aba-aba untuk bergerak.

Tepat dihitungan ketiga, pohon singkong itu akhirnya benar-benar tercabut dengan sukses. Budi sampai ikut terjengkang sementara saya sempat limbung kekanan sebentar karena beratnya singkong yang kami cabut itu. Kedua adik perempuan kami yang masih kecil-kecil dan menonton dari kejauhan tertawa terpingkal-pingkal melihat kedua kakaknya “kalah” bertarung “melawan” pohon singkong. Mereka berdua lalu bertepuk tangan penuh suka cita didampingi ibu kami yang tersenyum manis.

Rasa puas membuncah didada, apalagi bila menyaksikan singkong hasil panen kami berbuah cukup besar. Keletihan kami sirna oleh kegembiraan atas kerja bersama dalam suasana riang penuh keakraban.

Saya segera membayangkan ibu nanti akan membuat kolak singkong atau sup ubi kegemaran kami. Hidangan sederhana yang justru merupakan sebuah sajian sangat mewah buat kami yang tinggal didesa (ah..sambil menulis ini, mata saya tiba-tiba basah mengingat masakan khas ibunda terkasih yang sungguh nikmat disantap karena dimasak dengan penuh rasa cinta).

Kini, setelah beliau pensiun, selain memancing ikan di kolam khusus pemancingan didekat rumah, ayah tidak pernah melupakan hobinya merawat tanaman.

“Merawat tanaman itu seperti merawat cinta. Diperlukan ketekunan dan ketelatenan setiap hari untuk melakukannya dan ini juga yang ayah dan ibumu lakukan untuk selalu merayakan kasih sayang diantara kami, juga buat kalian, setiap hari” kata ayah suatu waktu.

Saya trenyuh. Sebuah filosofi hidup yang sederhana, dalam dan memikat.

Sambil mengelus daun Anthurium kesayangannya, ayah melanjutkan.”Senang sekali rasanya melihat tanaman yang Papa dan Mamamu rawat ini tumbuh subur. Sama seperti kebanggaan kami, orangtuamu, melihat kalian semua, anak-anak kami, tumbuh besar, berkeluarga, dan memberikan cucu-cucu yang lucu-lucu. Kebahagiaan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata,” ujar ayah saya dengan mata berbinar.

Saya tiba-tiba teringat tulisan Arvan Pradiansyah dalam bukunya “The 7 Laws of Happines, Tujuh Rahasia Hidup yang Bahagia”(Kaifa,2008) tentang Cinta yang Menumbuhkan. Menurutnya, Seorang ibu yang mencintai anaknya akan merawat sang anak penuh kasih sayang. Ia menjaga anaknya, bahkan bisa terbangun hanya oleh suara paling halus yang digumamkan oleh anaknya. Si ibu mengorbankan dirinya, kesehatannya, waktunya dan seluruh hidupnya, hanya demi pertumbuhan anak yang dicintainya.

Dalam cinta yang menumbuhkan kata Arvan, kebahagiaan tertinggi tidaklah dicapai ketika orang yang kita cintai membalas cinta dan kasih kita. Kebahagiaan tertinggi tercapai melalui pertumbuhan itu sendiri. Bahkan secara lebih esensial lagi, kebahagiaan itu sebenarnya berkaitan dengan tindakan menumbuhkan itu sendiri, terlepas dari bagaimana hasil yang akan kita dapatkan kelak.

Inilah cinta yang sejati, sebuah cinta yang tidak memaksakan kehendak. Cinta yang membebaskan.Cinta yang memampukan,menyadarkan dan memberdayakan. Semuanya itu diawali dengan pemahaman apa yang perlu ditumbuhkan.

Dengan empat orang anak, kedua orang tua saya berusaha untuk memberikan pendidikan yang terbaik untuk kami. Namun sama sekali tidak berusaha mengekang kehendak kami bila bermaksud menempuh jalan yang berbeda. Saya masih ingat sekitar tahun 1988, ketika adik saya Budi menyatakan ingin bekerja saja setelah menamatkan sekolah analis kimia di Makassar. Kebetulan, lulusan SAKMA (Sekolah Analis Kimia Makassar) sangat mudah terserap di lapangan kerja karena ketika itu tenaga analis relatif langka. Ayah saya sebenarnya berkeinginan besar agar Budi melanjutkan kuliah.

Secara demokratis, kami sekeluarga berkumpul membicarakan soal ini. Budi diminta memaparkan argumennya dan diadu dengan pendapat kami semua, termasuk saya sebagai kakak tertua. Kesimpulan akhirnya, kami menyetujui niat Budi (sekarang menjabat sebagai Quality Manager Kalimantan PT Geoservices Coal Laboratory di Balikpapan) untuk bekerja dan tidak melanjutkan kuliah. Meski berat rasanya, saya melihat secercah senyum diwajah ayah. Beliau lalu memeluk pundak ibu saya yang menangis tersedu tak rela melepaskan putra keduanya itu merantau ke Kalimantan Timur.

“Biarkan dia tahu bagaimana resiko atas pilihannya dan bagaimana mengatasinya. Bisa jadi itu yang membuatnya lebih dewasa dan siap menghadapi tantangan kehidupan. Barangkali ini memang yang terbaik buat Budi untuk menempuh takdirnya dan juga terbaik buat kita semua,” kata ayah saya tenang. Dari berbagai lowongan kerja yang diterima Budi waktu itu—sebagai bentuk kompromi dan juga menenangkan hati ibu yang gundah—ia akhirnya menerima lowongan kerja di PT Sucofindo, Sangatta yang menjadi mitra PT Kaltim Prima Coal untuk analisis batubara. Kebetulan, ada adik ayah saya (alm) Ridwan Gobel yang bekerja di PT Kaltim Prima Coal dan bisa mengawasi Budi selama bekerja disana (walau Budi kelak akan tinggal di Mess Karyawan).

Saya melihat keputusan itu sebagai bentuk cinta orang tua kami yang menumbuhkan, yang membebaskan, yang memberdayakan Budi untuk menghargai pilihannya serta siap menempuh segala resiko atas pilihannya itu. Tentu setelah melihat juga sejauh mana kesiapan mental dan spiritual Budi menghadapinya. Saya yakin ada hikmah yang terkandung dibalik semuanya. Usai diskusi malam itu, kami semua memeluk Budi yang akan mempersiapkan keberangkatannya seminggu kemudian.

Saya terharu, kedua orang tua saya tidak memaksakan keinginannya sendiri, menjadikan Budi menjadi orang "tertentu" sesuai "skenarionya". Mereka berdua sangat memahami kemampuan dan keunikan Budi untuk menjalani pilihan hidupnya dari hasil diskusi keluarga kami yang intens.

Meskipun begitu, penerapan cinta yang menumbuhkan tidak melulu lewat cara yang halus atau lembut. Penerapan disiplin untuk menjaga "pertumbuhan" itu tidak "melenceng" dari arah komitmen semula kerapkali dibutuhkan. Seperti yang sudah pernah saya ceritakan disini, akibat kesibukan saya beraktivitas di kampus, ayah saya mengkhawatirkan kegiatan perkuliahan saya akan terganggu.

Sebelum terjun di kegiatan kemahasiswaan, kedua orang tua saya telah memberi izin dan peluang bagi saya sebesar-besarnya untuk berekspresi dan berkreasi di kampus. Bahkan menginap berhari-hari dikampus sekalipun. "Ayah percaya padamu bahwa kamu mampu menjaga amanah dan tidak bikin malu orang tua," kata ayah saya suatu ketika.

Sebelumnya, sejak awal saya sudah berkomitmen meski aktifitas non kurikuler saya di kampus meningkat tajam, saya berjanji untuk tidak mengabaikan tugas saya untuk belajar sebagai mahasiswa. Komitmen ini yang dipegang oleh kedua orang tua saya.

Dan ketika ayah saya mendesak saya untuk meminta "Surat Izin Khusus Orangtua" saat saya mendapat promosi spesial sebagai Pemimpin Redaksi Surat Kabar Mahasiswa "Channel 9" Fakultas Teknik Unhas tahun 1992, saya memaknainya sebagai sebuah bentuk "cinta yang menumbuhkan" dari orangtua saya. Bukan sikap paranoid yang berlebihan.

Sebuah ekspresi implisit yang menyatakan, meski saya sudah diberikan kebebasan untuk beraktifitas di kampus, saya tetap mesti disiplin menjaga komitmen saya yang lain, menyelesaikan kuliah dengan sukses dan tepat waktu sesuai harapan kedua orang tua saya.

Ini yang kemudian membuat saya tersadar dan berusaha keras menjaga kepercayaan mereka, sebaik mungkin, bahkan berhasil membuktikan dapat lulus sebagai alumni terbaik Teknik Mesin Unhas periode wisuda September 1994 dengan IPK tertinggi disela-sela segudang kesibukan saya sebagai aktifis mahasiswa.

Usai prosesi wisuda, saya melihat air muka bahagia di wajah kedua orang tua saya di kursi tamu para wisudawan. Sesampai dirumah, saya dipeluk penuh kehangatan dan kebanggaan oleh orang-orang tercinta. Di kedalaman mata ayah dan bunda saya yang berkaca-kaca waktu itu, saya menemukan sebuah telaga jernih dan menenangkan.

Sebuah telaga penuh cinta.
Sebuah telaga yang "menumbuhkan"..

Persiapan Menyongsong Akhir Bulan

Mesin Cimart sudah semakin panas, rpm pun sudah dipacu cukup tinggi. Menjelang penghujung akhir bulan ini, banyak aktivitas yang dilakukan oleh Cimarters untuk menghadapainya. Dimulai dengan adanya order beras lebih dari 1/2 ton dari Kopkar sebuah perusahaan, yang membuat karyawan toko dan sebagian Cimarters sibuk melakukan repacking beras ke dalam kantong-kantong yang lebih kecil. Adanya permintaan akan kantong 20 kg membuat kita berinvestasi lagi mesin jahit tangan, sebuah alat yang sebenarnya memang mutlak ada jika kita akan serius menekuni bisnis beli-jual beras.
Lalu datangnya kesempatan bagi Band Cimart untuk tampil di pentas luar yaitu di Ano's Cafe, setelah sekian lama berlatih di Padepokan JM, tempat Sang Bagawan Ruwiyono bersemayam, membuat kibaran bendera Cimart makin terbentang. Orang luar makin mengenal nama Cimart, meskipun belum semuanya tahu apa dan siapa Cimart itu.



Kantong-kantong beras yang sudah boarding, menunggu pemberangkatan di tanggal 24










Akhir bulan umumnya dinanti-nanti oleh sebagian Cimarters yang masih berstatus karyawan, karena pada 10 hari terakhir bulanlah mereka mendapatkan upah setelah bekerja selama 1 bulan penuh. Upah sudah didapat, maka waktunya untuk berbelanja. It's a Shopping Time!
Namun ingat, sebanyak mungkin belanjalah di Cimart, agar uang kita tidak pergi jauh-jauh. Dari kita untuk kita! Cimart akan tumbuh karena kita belanja.
Dalam rangka itu pula, kita sudah mulai menambah ragam dan variasi produk yang dijual, agar pilihan belanja kita di Cimart pun makin banyak.
Mulai dari telur ayam yang menjadi primadona setelah beras, beberapa hari yang lalu pun toko kita menambah produk makanan dan minuman anak-anak.



Produk-produk yang akan membuat anak-anak kita senang datang ke Cimart. Para orang tua yang membawa anak-anak ke Cimart, harap siapkan uang untuk jajan mereka! (he..he..he..)









Hari ini, lewat tangan Pak Dirut, telah dihadirkan pula ke toko kita Freezer dari produsen minuman Coca Cola, disertai bermacam-macam produk minumannya yang bisa menjadi penghilang dahaga kita kala berkunjung ke toko, apalagi setelah agak lama berada di dalam toko (karena keringat sudah mulai menetes). Kesegaran yang muncul setelah mengambil minuman dari dalam Freezer dan menuangkan isinya ke dalam kerongkongan kita yang kering. Terasa dingin menyegarkan...Aaaakhhhhh!



Anda penasaran? Silakan datang ke Toko Cimart sambil berbelanja kebutuhan yang lain!










Satu hal yang penting, setelah sekian lama terkatung-katung, akhirnya jadi juga. Tidak lain dan tidak bukan adalah Stempel Toko! Pak Annas yang mengingatkan kita akan perlunya stempel, berinisiatif untuk membuatkan stempel itu. Namun karena beliu keburu jatuh sakit, beliau tidak bisa melanjutkan niatnya yang patut diacungi jempol itu. Akhirnya setelah seorang Cimarter menyempatkan waktu untuk membuat, tadi toko kita telah memiliki Stempel Toko resmi, yang akan kita gunakan untuk surat-menyurat dan nota pembelian. Termasuk juga untuk dokumen yang akan dipakai untuk transaksi beras seperti ke perusahaan tadi. Tidak ada stempel, ada kemungkinan kita tidak bisa dibayar. Kecil tapi efeknya besar!



Hendra akan pede mengantar beras ke SK, setelah kita memiliki stempel toko!







Masih banyak produk yang akan kita siapkan untuk memenuhi kebutuhan semua anggota, khususnya untuk produk Unilever, tadi juga telah dibuat daftar barang yang akan dipesan oleh Pak Nana. Untuk kemudian besok beliau akan issue PO ke distributor, dan diharapkan hari Rabu barangnya sudah datang.
Artinya?
Toko Cimart akan makin banyak barang! Jumlah dan variasinya.
Tnggal menunggu para pembeli, khususnya kita sendiri yang berbelanja. Siapa tidak mau belanja di toko sendiri? Pasti mau laaah!