Wednesday, January 13, 2010

Ya, “takes 2 to tango”



Kalau perjalanan tugas ke beberapa tempat selalu mendapat privacy service yang habis-habisan dari pihak penyelenggara, lain halnya dengan standar Eropa, bahkan mengenakan jas scarf dan sepatu tinggi untuk menghadiri suatu konferensi pun kami tetap harus rela berjalan kaki beberapa blok dari hotel menuju stasiun kereta, naik turun, belok tangga, antri token lalu menyusur pagar besi berliku-liku untuk masuk, selanjutnya bak kelelawar bergelantungan didalamnya.

Pagi ini dalam perjalanan dengan kereta api dari Den Haag HS ke Amsterdam Central, saya dan dua orang lelaki rekan kantor duduk berhadapan dengan seorang wanita pirang yang cukup menawan.

Ini memang bukan kebetulan, karena dua rekan kerja saya itu agak suka mencari “kesempatan dalam kelonggaran”, selain memang kursi yang tersisa hanyalah disitu, sebuah sudut sempit yang berhimpit dengan sambungan gerbong, terpisah dengan jejeran panjang penumpang lainnya.

Dalam ukuran saya seorang perempuan pun, wanita pirang ini cukuplah assoy untuk dipandang, nampaknya masih usia kuliah, body padat, rambut pirang kecoklatan lurus berponi sibak sebahu, kacamata ringan frameless, sekilas mirip Britney Spears.

Pakaiannya cukup modis dengan sepatu boot kulit hampir mencapai lutut, menyembul sedikit rok pendeknya bermotif kotak merah dibalik pakaian winter bulunya yang tebal. Tampak dia menangkup sebuah buku saku. Ugh, jadi teringat lagi buku negeri 5 menara saya yang lupa tertinggal di kursi tunggu departure terminal soekarno hatta hari minggu lalu.

Karena kanan kiri si gadis sudah terdahului oleh 2 gentlemen rekan kerja saya itu, maka saya pun memutuskan untuk mengambil tempat duduk di depan si gadis, bawaan saya cukup berat jika saya harus berdiri selama 30 menit an untuk sampai ke Amsterdam Central.

Selain efek jetleg yang masih begitu terasa karena perbedaan waktu dan lamanya penerbangan, jadwal telepon anak yang waktunya bikin pusing, juga seriusnya thematic discussion konferensi yang melenceng jauh dari agenda, benar-benar saya ingin menghemat tenaga untuk berkereta dari Amsterdam ke Paris via Brussels.

Jatah waktu luang yang sempit ini harus saya maksimalkan untuk sekalian bisa berkelana ke Paris dengan kereta api Thalys yang super cepat ini, tapi tetap saja tenaga harus dihemat hingga nanti bisa keliling berjalan kaki sepuasnya di seputaran Eiffel.

Kekakuan di wajah sudah mengkeret di posisi minus 5 derajat, tapi ingat lagi sunnah rasul maka sayapun harus terus berusaha membiasakan setidaknya melempar senyum dan melepas salam sekedarnya pada rekan seperjalanan di kereta api, yah supaya lebih convenient saja, karena saya sendiri begitu menggemari siapapun yang bersikap penuh keramahan dan kesantunan, apalagi dalam memilih kata-kata.

Tidak enak rasanya kalau saat duduk berhadapan namun saling membuang muka, kan sayang muka satu-satunya yang pas-pasan ini kita buang-buang he he.

Terlebih 2 rekan saya itu juga begitu memelas harap saya bisa membuka percakapan dengan si gadis, ya itulah tipe langka pria Indonesia yang malu malu mau. Okelah kalo begitu. “Goede Morgen, bonjour, selamat pagi” saya inisiatif menyapa seraya tersenyum seramah mungkin dengan kosakata bahasa semampu saya.

Si gadis pun membalas dan tersenyum manis, semanis sugar girl. Sebagaimana biasanya adat istiadat umum berkereta api di Eropa, biasanya pembicaraan akan terhenti disitu, masing-masing lalu tenggelam dalam bacaan atau lamunan, tapi setidaknya kita akan merasa nyaman dan lega duduk di kereta berhadap-hadapan, setelah saling tegur sapa ramah singkat itu.

Namun ternyata apa yang terjadi melampaui ekspektasi saya, tekanan kereta di satu belokan membuat tas si gadis jatuh meluncur kedepan menimpa ujung sepatu saya. Ya saya segera ambil dan berikan. Si gadis pun segera berterimakasih sambil kembali tersenyum manis “tres bien, merci”, terimakasih. Saya segera balas “ you are welcome”. Sip, kena. Karena saya membalas dalam bahasa inggris, dia tampak sadar kalo saya bukan warga londo keturunan asia yang cukup banyak bertebaran disana.

Dia rupanya tertarik untuk tahu dari mana saya berasal dan beraktivitas apa disana. Selanjutnya bla...bla..bla. ..kami langsung saja terlibat pembicaraan cukup seru dalam bahasa Inggris, apalagi norak emak-emak saya keluar saat mengeluarkan koleksi foto anak-anak yang selalu saya simpan di tas kecil saya pengobat kangen saat harus berjauhan.

Terlebih setelah dia tahu saya dari Jakarta (ngakunya sih, padahal hampir tiap malam kemping di kayuringin bekasi) dan hometown saya di bandung. Rupanya nyambung, ia sangat terkesan dengan cerita-cerita indah kakek buyutnya yang pernah tinggal dan berkesempatan melancong ke paris van java.

Pembicaraan pun tambah seru, karena saya tentu tidak lupa mengenalkan 2 gentlemen rekan kerja saya yang sedari awal harap-harap cemas untuk segera dikenakan dan ingin terlibat perkenalan lebih jauh dengan si gadis.

Ya, “takes 2 to tango”, supaya kita bisa dansa tango, kita perlu berpartner, tak bisa sendirian. Harus ada hubungan resiprokal, timbal balik. Contoh di atas menunjukkan sebuah percakapan, bahkan antar orang asing yang tak saling kenal pun bisa terjadi kehangatan pembicaraan yang berjalan lancar. Syaratnya harus ada hubungan timbal balik, berkomunikasi dua arah, saling bertanya, saling menjawab tulus, saling berempati.

Kalau kita dapat rizki teman seperjalanan yang ketus bin judes, maka sapaan ramah kita akan langsung terhenti sebelum kalimat kedua akan mengintip di pikiran kita, dan tak akan nada percakapan yang hangat dan ramah, ini adalah contoh kecil, bisa merepresentasi dari banyak hal yang lebih besar dalam kehidupan.

Suami dan istri, ayah dan ibu, presiden dan wapres, pemerintah dan rakyat, atasan dan bawahan, pengurus dan anggota, pioneer dan follower dan berbagai tipologi hubungan lainnya, tetap saja “takes 2 to tango”.

Kalo diijinkan amatiran bicara dalam business relationship, perencana suatu business unit (stakeholder, konsultan, board of director) harus anggap konsumen sebagai partner hidup, bila tak ada konsumen maka perencana tak akan pernah punya justifikasi untuk exist.

Demikian juga disisi konsumen, mereka perlu sadar jika perencana adalah partner untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Dunia bisnis akan indah jika pola hubungan dan komunikasi ini selalu mencapai sebuah titik dimana kepuasan optimum dicapai semua pihak.

Tidak akan ada intimidasi modal dan keterpaksaan ide dari stakeholder, depresi aturan main dari konsultan, manipulasi kualitas produk oleh produsen, dan tidak ada keluhan atau kemarahan para konsumen.

Sampai timbul suatu kekecewaan, masalah atau perselisihan, semua bisa diselesaikan tanpa harus finger pointing, menunjuk kekurangan serta kelemahan satu pihak semata, karena pada dasarnya semua harus berjalan dua arah atas kemufakatan, bukan hasil sepihak.

Perlu diingat bahwa setiap pihak bisa jadi berada dalam zona pemikiran, kemampuan, suasana, frekwensi bahkan visi dan misi yang berbeda dan berubah setiap saat, tergantung kebutuhan dan lingkungan yang sedang melingkupinya.

Jika kita menyadari bahwa “always takes 2 tango” maka pasti selalu dibutuhkan kesadaran semua pihak untuk mencari penyelesaian suatu masalah. Banyak konflik bisnis berakhir pada win-lose, zero sum game, atau bahkan lose-lose. Ini karena tidak ada semangat untuk ber-tango dengan benar.

Kita tak akan mampu ber-tango dengan indah, jika kita dan para pasangan kita hanya ingin bersaing dan saling mengalahkan, atau bahkan saling menuntut tanpa komunikasi awal yang saringan situasinya boleh jadi ada perbedaan satu dengan yang lainnya. Again, takes two to tango. Ah, macam betul saya ini…

Tidak terasa, kereta api yang kami naiki ini mulai melambat memasuki Amsterdam Central dan obrolan kami pun harus terhenti. Sungguh obrolan singkat, friendly, penuh kesan dan makna, diakhiri dengan bertukar data kontak, sempat saya lirik kedua pasang bola mata rekan kerja saya, bersinar terang bak bintang kejora penuh harapan masa depan, seolah mengucap ribuan kontainer terimakasih kepada saya.

Demikian pula si gadis bule, sekali lagi meraih tangan saya berjabat tangan, melempar senyum sangat manis kepada kedua rekan saya, lalu melambai dan segera menghilang di tengah keriuhan penumpang yang mengantri turun. Dan kami pun segera menemukan Anita dan Hafsah, dua sahabat lama saya yang sudah hampir setahun bertugas di KBRI dan WCO Brussels, 15 menit'an mereka menunggu untuk reuni dan akan menjadi tour guide terbaik kami menuju perjalanan selanjutnya.

Dingin dan lapar terus, sekantong french fries tidaklah cukup menggantikan nasi goreng mewah dan martabak tahu yang kata-katanya begitu popular terbaca selama empat hari ini, terasa menghantui ujung lidah saya, penasaran ingin segera beli dan coba sepulang ke bekasi.

Ups, Kereta Thalys telah menunggu di platform sebelah, tanpa status saya pun segera membuat pesan inbox singkat cukup ke anak-anak saja “dear kids, jaga shalat, mommy’s heading to Paris!



t.e.h.l.e.n.i.
+++
sumber gambar disini dan disini